Dilema Sekolah Gratis

Jumat, 11 Desember 2009 ·
Sekolah gratis merupakan fenomena yang sangat fantastis, dan mampu membuai masyarakat. Bahkan di dalam kampanye pemilu, pemilukada di jadikan sebagai isu yang paling banyak menyedot perhatian masyarakat. Masyarakat pun terbuai sehingga memilihnya dengan harapan dapat menikmati pendidikan gratis sesuai dengan janji yang telah diberikan.
Saat ini masyarakat sudah terlanjur dengan istilah sekolah gratis. Ada yang berpendapat bahwa gratis berarti tidak memberikan sumbangan apapun ke sekolah, dan hanya mengantarkan badan saja, buku, pakaian, sepatu, sarana prasarana belajar menjadi tanggungan sekolah. Ada yang berpandangan pesimis, kalau gratis bagaimana pendidikan yang akan di nikmati, karena mereka sudah terbiasa dengan tabung gas gratis yang mudah meledak. Atau dengan pakain gratis sumbangan dari para donatur. Atau sembako gratis, nasi gratis dan lain-lain yang gratis yang identik dengan kualitas yang baik.
Kedua pandangan di atas dapat dimaklumi mengingat majemuknya bangsa Indonesia, kondisi ekonomi dan tingkat pengetahuan masyarakat. Di kalangan Pendidik “sekolah gratis” juga akan menjadi pembahasan yang serius, guru di sekolah masih “wait and see” untuk mengsikapi fenomena ini. Sebagai tenaga yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan dunia pendidikan sepantasnya, sepantasnya jika guru diajak untuk memberikan masukan mengenai sekolah gratis, karena saat ini para pendidik di tingkat satuan pendidikan berada di antara masyarakat yang sebagaian besar tidak mau “berpartisipasi” dalam memberikan dana untuk operasional sekolah dan sebagai abdi negara kita harus mendukung terlaksananya sekolah gratis. Mengambil istilah memancing kena ikanya kena dan kolamnya tidak keruh.
Di tahun pelajaran 2009/2010 semua sekolah harus memiliki dokumen Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan di tahun 2013 semua sekolah harus sudah memiliki standar yang ditentukan oleh pemerintah. Sekolah gratis merupakan masalah serius karena untuk memenuhi 8 standar yang telah ditentukan oleh pemerintah : Standar Isi, Standar Kelulusan, Standar Sarana Prasarana, Standar Proses, Standar Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Manajemen, Standar Biaya dan Standar Penilaian.
Salah satu standar yang paling berat adalah Standar Sarana dan Prasarana dimana sekolah harus memiliki: 1. ruang kelas, 2. ruang perpustakaan, 3. ruang laboratorium IPA, 4. ruang pimpinan, 5. ruang guru, 6. ruang tata usaha, 7. tempat beribadah, 8. ruang konseling, 9. ruang UKS, 10. ruang organisasi kesiswaan, 11. jamban, 12. gudang, 13. ruang sirkulasi, 14. tempat bermain/berolahraga.
Dari 14 point yang ada sesuai dengan permen 24 tahun 2007, disamping ada, jumlah dari setiap point juga harus memadai dengan jumlah siswa. Para guru dan pengelola pendidikan sampai saat ini jika ditanya mengenai 14 point di atas tentu sebagain besar menggeleng. Pemerintah, pemerintah daerah (baca Provinsi dan Kabupaten) semestinya sebelum mencanangkan sekolah gratis harus memenuhi standar yang ada.
Jika semua sarana prasarana sudah ada maka program sekolah gratis dapat dilaksanakan dengan baik karena guru tidak perlu lagi memikirkan kekurangan ruang kelas, tidak perlu memilikirkan kekurangan buku atau siswa tidak memiliki buku, dapat praktek di laboratorium dengan nyaman, kepala sekolah dan guru dapat berdiskusi dengan baik karena ruangan yang nyaman, administrasi sekolah dapat dilaksanakan dengan baik karena adanya ruangan yang representatif, pelaksanaan ibadah dapat dilaksanakan dengan baik, siswa dapat melakukan pengembangan diri dengan baik karena adanya program kesiswaan yang memadai, tersedian rasio jamban dengan siswa memadai, tersedia lapangan olah raga dan aula yang memadai.
Lalu timbul pertanyaan sekolah mana yang sudah memenuhi hal tersebut? Sebagian besar sekolah menggelengkan kepala, karena sekolah kita memang mempunyai sarana dan prasarana yang memadai, terutama sekolah yang berada di daerah mewah (baca mepet sawah).
Sekolah Gratis yang didengungkan pemerintah Sumatera Selatan menjadi dilematis bagi guru di lapangan, ibarat pepatah di makan mati emak tidak dimakan mati bapak. Dari Peraturan Daerah No. 2009 mengenai sekolah gratis, pada pasal 8 di sebutkan sekolah gratis diperuntuhkan untuk 4 hal yaitu (a) biaya kesejahteraan guru, (b) biaya kegiatan belajar mengajar (c) biaya peningkatan mutu guru dan (d) biaya kegiatan ekstrakurikuler.
Lalu bagaimana untuk biaya rehap, pembangunan pagar, pembelian buku, pembelian alat praktek, pembelian alat-alat olah raga, rehap lapangan, rehap gedung, dan pemenuhan alat-alat lain untuk proses pembelajaran.
Di jelaskan lebih lanjut pada peraturan daerah pasal 1 point 16. Sekolah gratis adalah program untuk meringankan beban orang tua / wali siswa melalui pembebasan dari kewajiban membayar biaya operasional.
Dengan demikian masyarakat sudah dilarang untuk berpartisipasi untuk pembiayaan operasional sekolah, semua di ambil alih oleh pemerintah propinsi. Hal ini jika ditentu ironis dengan PP No. 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan dimana pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab: (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat; (b) orang tua atau wali peserta didik; (c) masyarakat di luar orang tua atau wali peserta didik; (d) Pemerintah; (e) pemerintah daerah; (f) pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau (g) sumber lain yang sah.
Di tengah ketidakmampuan pemerintah pusat memenuhi kebutuhan sekolah maka saat ini pembangungan gedung di lakukan secara sharing dengan masyarakat, dengan demikian pembangunan juga melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Dari pengalaman pembangunan dengan pola sharing memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pembangunan dengan sistem tender, karena dengan sharing ada beberapa biaya yang dapat dipangkas.
Dengan larangan seperti itu maka peluang untuk dapat mengambil dana dari partipasi masyarakat menjadi tertutup. Masyarakat juga menjadi merasa bahwa pemenuhan pendidikan merupakan kewajiban pemerintah, sedangkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten memberikan dana yang jauh dari kebutuhan. Memang ada sekolah yang sebelumnya memungut biaya operasional lebih kecil dari yang sudah ditentukan, tetapi perlu dikaji lebih lanjut bagaimana kualitas sekolah yang bersangkutan.
Meskipun sekolah masih diberikan kesempatan untuk memungut biaya tambahan tetapi hanya sekolah yang memiliki Sekolah Standar Nasional (SSN) atau sekolah Sekolah Rintisan Standar Internasional (SRBI) dan biaya yang diambil merupakan selisih antara dana bantuan pemerintah daerah dengan kebutuhan sekolah. Sekolah-sekolah yang diluar itu dilarang untuk melakukan pungutan baik negeri atau swasta.
Sekolah menjadi serba salah, memungut dana berarti berhadapan dengan masyarakat karena yang mereka tahu sekolah gratis dan bersebarangan dengan pemerintah propinsi yang notebenya adalah tempat perlindungan. Dipihak lain jika hal ini terus dibiarkan tentu sekolah akan mengalami kolap karena tidak dapat memenuhi kebutuhan. Sekolah akan berjalan dengan sempoyongan dan tujuan tahun 2013 menjadi sekolah standar nasional akan semakin sulit. Sekolah akan pelan-pelan mati suri dari kegiatan dan hal ini tentu menjadi perhatian bagi kita. Dalam Perda juga sudah di jelaskan apa-apa yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan dengan dana yang diberikan oleh pemerintah.
Pemerintah harus mempunyai penyelesaian yang lebih cerdas daripada mementingkan jorgan politik karena pendidikan merupakan hak masyarakat, dan guru sebagai pengelola pendidikan jangan dibiarkan berhadapkan dengan masyarakat yang ”paham” sekolah gratis. Sudah saatnya pendidikan di jauhkan dari kepentingan politik, dan bahan kampanye para pemegang kekuasaan, karena jika dibiarkan maka carut marut pendidikan akan semakin jadi, dan pendidikan di Indonesia khususnya Sumatera Selatan akan semakin terpuruk.
Biarlah masyarakat berpartisipasi dalam usaha memajukan pendidikan bagi yang mampu dan berikan kesempatan bagi siswa yang mempunyai kemampuan untuk mengenyam pendidikan setingginya dengan subsidi silang.

Banyuasin, Juni 2009
| More

0 komentar:

Posting Komentar